MAKALAH
ETIKA PROFESI
TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
INFRINGEMENT OF PRIVACY
OLEH :
1. Apriyadi 13170165
KELAS : 13.5A.11
Program Studi Teknologi Komputer
Fakultas Teknologi
Informasi Universitas Bina Sarana Informatika
Jakarta
2019
KATA PENGANTAR
Atas dasar rasa syukur
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, serta dengan segala rahmat, hidayah dan bimbingan-Nya, sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa saya turut mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Budi
Santoso, selaku dosen mata kuliah Etika
Profesi Teknologi dan Komunikasi.
2. Dosen Pembimbing saya kelas 13.5A.11.
3. Teman-Teman kelas 13.5A.11, serta semua yang telah mendukung dan memberi
semangat kepada saya.
Semoga bantuan dan dukungan yang telah diberikan
kepada saya mendapat balasan serta
karunia dari Tuhan. Saya menyadari penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna , maka dari itu saya berharap saran dan kritik untuk kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi kita semua dan pihak yang
memerlukan.
Jakarta, 12
Januari 2020
Penulis
DAFTAR ISI
Cover Halaman
Kata pengantar
Daftar isi
Kata pengantar
Daftar isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.1 Latar Belakang Masalah
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Definisi Infringement of Privacy
2.2 Faktor Infringement of
Privacy
2.3 Hukum dan Perundangan
tentang Infringement of Privacy
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Contoh
Kasus Infringement of Privacy
3.2 Analisa
Kasus
BAB III PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Sebelum masuk ke dalam pengertian
tentang infringement of privacy, penulis mengajak Anda untuk mengetahui
apa itu arti cybercrime. Karena kegiatan infringement of
privacy berkaitan dengan istilah cybercrime. Apa itu cybercrime?
Cybercrime adalah tindakan kriminal yang dilakukan
dengan teknologi computer, khususnya teknologi internet. Cybercrime
didefinisikan sebagai perbuatan melanggar hukum yang memanfaatkan teknologi
computer yang berbasasis pada kecanggihan perkembangan teknologi internet.
Cybercrime merupakan bentik-bentuk kejahatan yang
timbul karena pemanfaatan teknologi internet beberapa pandapat mengasumsikan
cybercrime dengan computer crime.the U.S department of justice memberikan
pengertian computer crime sebagai “any illegal act requiring knowledge of
computer technologi for its perpetration,investigation,or prosecution”. Secara
ringkas dapat dikatakan bahwa cybercrime dapat didefinisikan sebagai perbuatan
melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan internet yang berbasis pada
kecanggihan teknologi, komputer dan telekomunikasi baik untuk memperoleh
keuntungan ataupun tidak, dengan merugikan pihak lain.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Definisi Infringement of Privacy
- Pengertian
Privacy
Kerahasiaan pribadi
(Bahasa Inggris: privacy) adalah kemampuan satu atau sekelompok individu untuk
mempertahankan kehidupan dan urusan personalnya dari publik, atau untuk
mengontrol arus informasi mengenai diri mereka. Privasi kadang dihubungkan
dengan anonimitas walaupun anonimitas terutama lebih dihargai oleh orang yang
dikenal publik. Privasi dapat dianggap sebagai suatu aspek dari keamanan.
Hak pelanggaran privasi
oleh pemerintah, perusahaan, atau individual menjadi bagian di dalam hukum di
banyak negara, dan kadang, konstitusi atau hukum privasi. Hampir semua negara
memiliki hukum yang, dengan berbagai cara, membatasi privasi, sebagai contoh,
aturan pajak umumnya mengharuskan pemberian informasi mengenai pendapatan. Pada
beberapa negara, privasi individu dapat bertentangan dengan aturan kebebasan
berbicara, dan beberapa aturan hukum mengharuskan pemaparan informasi publik
yang dapat dianggap pribadi di negara atau budaya lain.
Privasi dapat secara
sukarela dikorbankan, umumnya demi keuntungan tertentu, dengan risiko hanya
menghasilkan sedikit keuntungan dan dapat disertai bahaya tertentu atau bahkan
kerugian. Contohnya adalah pengorbanan privasi untuk mengikut suatu undian atau
kompetisi; seseorang memberikan detail personalnya (sering untuk kepentingan
periklanan) untuk mendapatkan kesempatan memenangkan suatu hadiah.
Privasi sebagai
terminologi tidaklah berasal dari akar budaya masyarakat Indonesia. Samuel D
Warren dan Louis D Brandeis menulis artikel berjudul "Right to
Privacy" di Harvard Law Review tahun 1890. Mereka seperti hal nya Thomas
Cooley di tahun 1888 menggambarkan "Right to Privacy" sebagai
"Right to be Let Alone" atau secara sederhana dapat diterjemahkan
sebagai hak untuk tidak di usik dalam kehidupan pribadinya. Hak atas Privasi
dapat diterjemahkan sebagai hak dari setiap orang untuk melindungi aspek-aspek
pribadi kehidupannya untuk dimasuki dan dipergunakan oleh orang lain (Donnald M
Gillmor, 1990 : 281). Setiap orang yang merasa privasinya dilanggar memiliki
hak untuk mengajukan gugatan yang dikenal dengan istilah Privacy Tort. Sebagai
acuan guna mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran Privasi dapat digunakan catatan
dari William Prosser yang pada tahun 1960 memaparkan hasil penelitiannya
terhadap 300 an gugatan privasi yang terjadi. Pembagian yang dilakukan Proses
atas bentuk umum peristiwa yang sering dijadikan dasar gugatan Privasi yaitu
dapat kita jadikan petunjuk untuk memahami Privasi terkait dengan media.
Privasi merupakan
tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu
kondisi atau situasi tertentu. tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut
keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan
orang lain, atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai
oleh orang lain. adapun definisi lain dari privasi yaitu sebagai suatu kemampuan
untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan pilihan atau
kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan. privasi jangan
dipandang hanya sebagai penarikan diri seseorang secara fisik terhadap pihak
pihak lain dalam rangka menyepi saja.
Teknologi internet ini
melahirkan berbagai macam dampak positif dan dampak negatif. Dampak negatif ini
telah memunculkan berbagai kejahatan maya (cyber crime) yang meresahkan
masyarakat Internasional. Kejahatan tersebut perlu mendapatkan tindakan yang
tegas dengan dikeluarkan Undang-Undang terhadap kejahatan mayantara yaitu
dengan dikeluarkan UU no. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Ekonomi, yang merupakan usaha untuk memberikan kepastian hukum tentang kerugian
akibat cyber crime tersebut. Undang-Undang ini akibat dari lemahnya penegakan
hukum yang digunakan sebelumnya yang mengacu pada KUHP dan peraturan
perundingan lain seperti hak cipta, paten, monopoli, merek, telekomunikasi dan
perlindungan konsumen. Kejahatan Mayantara ini bersifat transnasional, dan
karena kasusnya sudah sedemekian seriusnya, sehingga selain hukum nasional juga
dalam konvensi-konvensi internasional sehingga perlu kepastian hukum dalam
mencegah dan menanggulanginya. Berbagai upaya digunakan dalam menindak pelaku
cyber crime dengan Undang-Undang yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan
teknologi informasi di Indonesia.
2.2 Faktor Pendorong Pelaku Infringement of Privacy
- Kesadaran
hukum : Masayarakat
Indonesia sampai saat ini dalam merespon aktivitas cyber crime masih
dirasa kurang. Hal ini disebabkan antara lain oleh kurangnya pemahaman dan
pengetahuan (lack of information) masyarakat terhadap jenis
kejahatan cyber crime. Lack of information ini
menyebabkan upaya penanggulangan cyber crimemengalami kendala,
yaitu kendala yang berkenaan dengan penataan hukum dan proses
pengawasan (controlling) masyarakat terhadap setiap
aktivitas yang diduga berkaitan dengan cyber crime. Mengenai
kendala yakni proses penaatan terhadap hukum, jika masyarakat di Indonesia
memiliki pemahaman yang benar akan tindak pidana cyber crime maka
baik secara langsung maupun tidak langsung masyarakat akan membentuk suatu
pola penataan. Pola penataan ini dapat berdasarkan karena ketakutan akan
ancaman pidana yang dikenakan bila melakukan perbuatan cyber crime atau
pola penaatan ini tumbuh atas kesadaran mereka sendiri sebagai masyarakat
hukum. Melalui pemahaman yang komprehensif mengenai cyber
crime, menimbulkan peran masyarakat dalam upaya pengawasan, ketika
masyarakat mengalami lack of information, peran mereka akan
menjadi mandul.
- Faktor
Penegak Hukum : Masih
sedikitnya aparat penegak hukum yang memahami seluk beluk teknologi
informasi (internet), sehingga pada saat pelaku tindak pidana ditangkap,
aparat penegak hukum mengalami, kesulitan untuk menemukan alat bukti yang
dapat dipakai menjerat pelaku, terlebih apabila kejahatan yang dilakukan
memiliki sistem pengoperasian yang sangat rumit. Aparat penegak hukum di
daerah pun belum siap dalam mengantisipasi maraknya kejahatan ini karena
masih banyak institusi kepolisian di daerah baik Polres maupun Polsek,
belum dilengkapi dengan jaringan internet. Perlu diketahui, dengan
teknologi yang sedemikian canggih, memungkinkan kejahatan dilakukan disatu
daerah.
- Faktor
Ketiadaan Undang-undang : Perubahan-perubahan
sosial dan perubahan-perubahan hukum tidak selalu berlangsung
bersama-sama, artinya pada keadaan-keadaan tertentu perkembangan
hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat.Sampai
saat ini pemerintah Indonesia belum memiliki perangkat perundang-undangan
yang mengatur tentang cyber crime belum juga terwujud. Cyber crime memang
sulit untuk dinyatakan atau dikategorikan sebagai tindak pidana karena
terbentur oleh asas legalitas. Untuk melakukan upaya penegakan hukum
terhadap pelaku cyber crime, asas ini cenderung membatasi penegak hukum di
Indonesia untuk melakukan penyelidikan ataupun penyidikan guna mengungkap
perbuatan tersebut karena suatu aturan undang-undang yang mengatur cyber
crime belum tersedia. Asas legalitas ini tidak memperbolehkan adanya suatu
analogi untuk menentukan perbuatan pidana. Meskipun penerapan asas
legalitas ini tidak boleh disimpangi, tetapi pada prakteknya asas ini
tidak diterapkan secara tegas atau diperkenankan untuk terdapat
pengecualian.
2.3 Hukum dan Undang-undang Tentang Infringement of Privacy
Undang
– Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) Nomor 11 Tahun 2008 Presiden
Republik Indonesia Menimbang :
- Bahwa pembangunan nasional
adalah salah satu proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap
terhadap berbagai dinamika di masyarakat.
- Bahwa globalisasi
informasi telah menempatkan indonesia sebagai bagian dari masyarakat
informasi dan transaksi elektronik di tingkat nasional seentuk hingga
pembangunan teknologi informasi dapat dilakukan secara optimal,merata,dan
menyebar ke seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa.
- Bahwa perkembangan dan
kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat telah menyebabkan
perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara
langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru.
- Bahwa penggunaan dan
pemanfaatan teknologi informasi harus terus dikembangkan untuk
menjaga,memelihara,dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional
berdasarkan peraturan perundang-undangan demi kepentingan nasional.
- Bahwa pemanfaaatn
teknologi informasi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan
perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
- Bahwa pemerintah perlu
mendukung pengembangan teknologi informasi melalui infrastruktur hukum dan
pengaturanya sehingga pemanfaatan teknologi informasi memperhatikan
nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat indonesia.
- Bahwa berdasrkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,huruf b,huruf c,huruf
d,huruf e,dan huruf f,perlu membentuk undang-undang tentang informasi dan
transaksi elektronik.
Dan
akhirnya Presiden republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat telah
memutuskan menetapkan ,Undang-undang tentang informasi transaksi
elektronik:
· Bab
I, tentang Ketentuan Umum
· Bab
II, tentang Asas dan Tujuan
· Bab
III, tentang informasi,dokumen,dan tanda tangan elektronik
· Bab
IV, tentang penyelenggaran dan sertifikasi elektronik dan sistem elektronik
· Bab
V, tentang transaksi elektronik
· Bab
VI, tentang domain hak kekayaan intelektual,dan perlindungan hak pribadi
· Bab
VII, tentang perbuatan yang dilarang
· Bab
VIII, tentang penyelesain sengketa
· Bab
IX, tentang peran pemerintah dan masyarakat
· Bab
X, tentang penyidikan
· Bab
XI, tentang ketentuan pidana
· Bab
XII, tentang ketentuan peralihan
· Bab
XIII, tentang ketentuan penutup
Atau
UU ITE pasl 27 ayat 3 yang berbunyi sebagai berikut :
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Sanksi pelanggaran pasal disebutkan
pada Pasal 45 ayat 1 adalah :Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Seperti halnya porno dan tidak porno, maka merasa
terhina atau tidak terhina juga berada dalam domain yang sama yaitu
subjektifitas. Tiap orang tentunya akan berbeda-beda merasakannya. Tergantung
apakah orang tersebut pendendam atau pemaaf, dan penerima kritik atau
antikritik. Pasal penghinaan atau pencemaran nama baik bisa dikatakan pasal
karet, pasal yang dapat ditarik-tarik seenaknya. Orang hukum mungkin
mengatakannya sebagai hal yang tidak memiliki kepastian hukum.
Belum lagi pasal ini ternyata juga sudah dibahas
dalam undang-undang yang lain yaitu KUHP Pasal 311. Saling tindih suatu aturan
yang sama membuat UU menjadi tidak efisien. Semoga saja ini bukan karena para
pembuatnya memiliki OCD (Obsessive Compulsive Disorder). Lalu masalah hukuman
yang begitu berat yaitu 1 milyar rupiah.
Apa dasarnya? Mungkin bagi orang kaya, 1 M itu bisa
dibayar. Tapi buat 15,42 % (Data BPS, Maret 2008) orang miskin di Indonesia,
belum lagi ditambah orang tingkat ekonomi menengah kebawah.Uang 1 milyar itu
sangatlah tidak terjangkau. Apa mungkin pesan implisit dari Pasal 27 ayat 3
UU-ITE ini adalah orang miskin dilarang menghina dan mengkritik di internet?
Baiklah, Saya masih miskin saat ini. Saya tidak
punya uang 1 milyar untuk menebus harga diri seseorang/sesuatu yang merasa
dicemarkan dalam tulisan-tulisan saya. Saya juga tidak cukup punya waktu untuk
kehilangan 6 tahun dipenjara karena unfinished tasks saya sudah sangat banyak.
Namun apa mau dikata, UU-ITE telah ditetapkan bahkan Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi menolak pengujian pasal 27 ayat 3 UU ITE. Sekali lagi orang miskin
(yang tak punya 1 milyar) mungkin tinggal menunggu belas kasihan sistem
keadilan yang berpihak pada para penguasa uang.
Sedangkan di Negara lain misalkan di Amerika Serikat
yaitu RUU SOPA dan PIPA.SOPA adalah singkatan Stop Online Piracy Act. Yaitu
rancangan undang-undang penghentian pembajakan online. RUU ini diusulkan
pertamakali oleh Kongres ke Gedung Parlemen pada 26 Oktober 2011. Dengan UU
SOPA, penegak hukum di AS dapat lebih leluasa bertindak kegiatan online yang
dianggap illegal.
PIPA adalah singkatan dari Protect Intellectual
Property Act atau RUU Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. RUU PIPA bertama
kali diusulkan pada 12 Mei 2011 oleh Senator Patrick Leahy. RUU tersebut berisi
definisi tentang pelanggaran yang disebabkan oleh pendistribusian salinan palsu
atauillegal copies dan barang palsu.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Contoh Kasus Infringement of Privacy
Google
telah didenda 22.5 juta dolar Amerika karena melanggar privacy jutaan orang
yang menggunakan web browser milik Apple, Safari. Denda atas Google kecil saja
dibandingkan dengan pendapatannya di kwartal kedua. (Credit: Reuters) Denda
itu, yang diumumkan oleh Komisi Perdagangan Federal Amerika Serikat (FTC),
adalah yang terbesar yang pernah dikenakan atas sebuah perusahaan yang
melanggar persetujuan sebelumnya dengan komisi tersebut.
Oktober
lalu Google menandatangani sebuah persetujuan yang mencakup janji untuk tidak
menyesatkan konsumen tentang praktik-praktik privacy. Tapi Google dituduh
menggunakan cookies untuk secara rahasia melacak kebiasaan dari jutaan orang
yang menggunakan Safari internet browser milik Apple di iPhone dan iPads.
Google mengatakan, pelacakan itu tidak disengaja dan Google tidak mengambil
informasi pribadi seperti nama, alamat atau data kartu kredit. Google sudah
setuju untuk membayar denda tadi, yang merupakan penalti terbesar yang
pernah dijatuhkan atas sebuah perusahaan yang melanggar instruksi
FTC.
3.2
Analisa Kasus
Contoh kasus diatas sangat mungkin untuk terjadi pula
di pertelevisian Indonesia. Momentum pelanggaran Privasi dapat berlangsung pada
proses peliputan berita dan dapat pula terjadi pada penyebarluasan
(broadcasting) nya.Dalam proses peliputan, seorang objek berita dapat saja
merasakan derita akibat tindakan reporter yang secara berlebihan mengganggu
wilayah pribadi nya. Kegigihan seorang reporter mengejar berita bisa
mengakibatkan terlewatinya batas-batas kebebasan gerak dan kenyamanan pribadi
yang sepatutnya tidak di usik. Beberapa cuplikan infotainment menggambarkan
pernyataan-pernyataan cerdas dari beberapa selebriti kita tentang haknya untuk
melindungi kehidupan pribadinya.
Dalam menentukan batas-batas Privasi dimaksud memang
tidak terdapat garis hukum yang tegas sehingga masih bergantung pada subjektifitas
pihak-pihak yang terlibat. Dalam proses penyebarluasan (penyiaran), pelanggaran
Privasi dalam bentuk fakta memalukan (embarrassing fact) anggapan keliru (false
light) lebih besar kemungkinannya untuk terjadi. Terlanggar atau tidaknya
Privasi tentunya bergantung pada perasaan subjektif si objek berita.
Subjektifitas inilah mungkin yang mendasari terjadinya perbedaan sikap antara
PARFI dan PARSI yang diungkap diatas dimana disatu pihak merasa prihatin dan
dipihak lain merasa berterimakasih atas pemberitaan-pemberitaan
infotainment. sebagai contoh :
- Pelanggaran terhadap privasi Tora sudiro,
hal ini terjadi Karena wartawan mendatangi rumahnya tanpa izin dari Tora.
- Pelanggaran terhadap privasi Aburizal
bakrie, hal ini terjadi karena publikasi yang mengelirukan pandangan orang
banyak terhadap dirinya.
- Pelanggaran terhadap privasi Andy Soraya dan
bunga citra lestari, hal ini terjadi karena penyebaran foto mereka dalam
tampilan vulgar kepada publik.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Dari makalah ini penulis menyimpulkan
bahwa infringement of privacy adalah suatu kegiatan atau aktifitas
untuk mencari dan melihat terhadap keterangan pribadi seseorang yang
tersimpan pada formulir data pribadi yang tersimpan secara komputerisasi.
4.2 SARAN
Penulis
memberikan saran kepada pengguna internet, untuk
menggunakan secara positif dan tidak
memanfaatkan perkembangan teknologi internet sebagai bahan untuk
merugikan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Ramli, Ahmad M. Cyber Law dan Haki Dalam
Sistem Hukum Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2006 Magdalena, Merry
dan Maswigrantoro R. Setyadi. Cyberlaw, Tidak Perlu Takut.
Yogyakarta: Andi, 2007
Sulaiman, Robintan. Cyber Crimes:
Perspektif E-Commerce Crime. Pusat Bisnis Fakultas Hukum: Universitas
Pelita Harapan, 2002
Komentar
Posting Komentar